Tabebuya, Pohon Perindang dan Kisahnya di Kota Magelang

8 April 2020

Comments

MAGELANG – Jika anda berkunjung ke Kota Magelang pada pertengahan hingga akhir September, akan mendapatkan suguhan pemandangan kota yang cantik. Selama masa itu, ratusan pohon Tabebuya yang tersebar di berbagai sudut kota, sedang bermekaran.

Alhasil, suasana kota berjuluk “Paradijs van Java” atau surganya Pulau Jawa ini mirip bunga Sakura yang bermekaran di Jepang.

Salah satu kawasan yang banyak tumbuh Tabebuya, berada di depan Kantor Pemerintah Kota Magelang di Jln. Sarwo Edi Wibowo, Jln. Ahmad Yani (depan deretan kios PJKA Kebonpolo), dan Jln. Sutoyo, Kejuron.

Mekarnya tanaman yang berasal dari Brazil tersebut tentu saja makin mempercantik kota. Di tengah lalu lintas kendaraan yang makin padat, keindahan bunga tersebut mampu meneduhkan siapa saja yang melihatnya.

Dengan warna bunga merah muda dan putih, pohon itu terlihat begitu feminin. Tak sedikit masyarakat yang mengabadikan melalui bidikan kamera.

Penanaman Tabebuya ini merupakan program Wali Kota Sigit Widyonindito dalam dua periode kepemimpinannya (2011-2021) untuk mewujudkan sukses Program Magelang Kota Sejuta Bunga.

Di berbagai sudut kota, selain membuat taman-taman kota, Sigit juga menggalakkan penanaman berbagai pohon perindang yang memiliki bunga indah.

Sebelumnya, pada awal masa jabatannya sebagai wali kota, Sigit menanam pohon Bintaro (Cerbera manghas). Pohon jenis ini memiliki daun yang lebat, sanggup menyerap karbondioksida, dan dapat tumbuh dengan cepat.

Tapi sayangnya, pohon Bintaro ini memiliki kandungan racun yang berbahaya. Bahkan, racun tersebut bisa mematikan jika dikonsumsi. Karena itu, pohon ini diganti dengan jenis pohon yang lain.

Selain itu, ditanam pohon Sepatu Dea (Spathodea campanulata). Pohon ini dikenal juga sebagai African Tulip Tree karena berasal dari Afrika dan mirip dengan bunga Tulip.

Ruas jalan yang ditanami pepohonan ini misalnya di Jln. Daha (Tengkon) dan Jln. Jeruk Timur (Sanden) karena mampu tumbuh dengan cepat dan memiliki bunga warna merah yang cantik. Tentu saja pertumbuhan pohon yang cepat ini agar kondisi jalan dapat teduh oleh kerindangan daunnya.

Tapi justru sebaliknya, kelebihan sejumlah pohon itu malah menjadi sisi negatif bagi lingkungan sekitarnya. Jenis pohon ini memiliki batang dan akar yang cepat membesar. Alhasil, malah merusak trotoar dan aspal jalan. Dampaknya tentu saja akan mengurangi kenyamanan dan membahayakan bagi para pejalan kaki dan pengguna jalan raya.

Pohon-pohon jenis ini tak bertahan lama karena Sigit ingin kotanya makin cantik dan ingin menyelaraskan dengan Program Magelang Kota Sejuta Bunga.

Akhirnya, pohon-pohon ini pun digantikan dengan jenis pohon berbunga lainnya. Tak main-main, pohon-pohon perindang di sepanjang jalan itu ditebang dan diganti dengan berbagai pohon berbunga. Misalnya di Jln. Pahlawan, Jln. Ahmad Yani, Jln. Majapahit, dan Jln. Diponegoro.

Tak hanya Tabebuya sebagai pohon pengganti, pohon berwarna ungu yang bernama Jagaranda pun juga ditanam untuk menambah kecantikkan di setiap sisi jalan. Jagaranda (Jacaranda mimosifolia) adalah tanaman dari Amerika Selatan yang bentuk bunganya menyerupai terompet.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Magelang Otros Trianto menyebut pohon itu ditanam di kota itu sejak tahun 2018.

Jacaranda sudah ditanam di ruas Jln. Pahlawan. Jenis pohon ini tidak ditanam dari bibit tetapi pohonnya sudah agak besar, dengan tinggi sekitar 2,5 meter.

Selain mempercantik kota, Jacaranda bisa menyerap polusi. Karena itu, tidak heran jika jenis tanaman itu dan Tabebuya diperbanyak setiap tahun. Jumlah Jacaranda masih beberapa puluh pohon, sedangkan Tabebuya sudah lebih dari 2.000 pohon.

Yang menarik dari Jacaranda adalah warna bunganya lebih bervariatif, antara lain pink, kuning, ungu, dan merah.

Bukan baru

Pemilihan pohon perindang yang ditanam di sepanjang jalan, bukanlah hal baru.

Pada masa pemerintahan jajahan Inggris, termasuk berkuasa di Magelang pada 1811-1816, Danukromo diangkat menjadi Bupati Magelang pada 30 November 1813. Bupati inilah yang membuat masjid, alun-alun, dan rumah bupati (Regentwoning) di Kota Magelang (sekarang).

Selama masa bupati yang kelak bergelar Danuningrat I ini, ditanam pohon Beringin di kawasan alun-alun. Tepat di tengah alun-alun, satu Beringin berdiri tegak. Di setiap sisi alun-alun, deretan Beringin menghiasinya.

Alhasil, jika pohon-pohon ini sudah membesar dan tajuk daunnya sudah melebar dan rindang, menjadi tempat yang mengasyikkan masyarakat untuk berteduh dan berkumpul di bawahnya.

Ketika zaman Belanda (1816-1942), pohon Kenari, Asam Jawa, Asam Londo, dan Mahoni menjadi pohon yang ideal untuk ditanam di sepanjang jalan kota. Keempat jenis pohon ini, antara lain memiliki batang yang kuat, berumur lama, memiliki tajuk pohon yang rindang, dan menyerap karbondioksida.

Pohon Kenari (Canarium commune L.) adalah tanaman asli Indonesia. Banyak dijumpai di daerah Maluku, kemudian menyebar luas ke negara-negara Asia tropika lainnya. Jenis pohon ini dapat mencapai ketinggian 30 meter, sedangkan Asam Jawa (Tamarindus indica) dan Asam Londo sifatnya seperti pohon Kenari, yakni memiliki buah yang dapat dimanfaatkan.

Dahulu, pohon Kenari banyak ditanam di Bajemanweg (kini Jln. Tentara Pelajar, Bayeman), kawasan tangsi militer (kini Rindam IV/Diponegoro), Tidarweg (Jln. Tidar), Grooteweg Zuid (Jln. Sudirman), Grooteweg Noord Pontjol (Jln. Ahmad Yani ruas Poncol), dan kawasan Residentiehuis. Sisa-sisa pohon Kenari masih dapat ditemui hingga kini di kompleks gedung eks-Keresidenan Kedu.

Pohon Asam Jawa banyak ditemui di Residentielaan (Jln. Veteran], Kuil (Jln. Kartini), Grooteweg Noord Pontjol (depan tangsi militer Jln. Ahmad Yani) dan ruas Kramat, sedangkan pohon Asam Londo ditanam di kawasan tangsi militer.

Ketika industri perkayuan berkembang, pinggir jalan menjadi tempat ideal untuk menanam pohon Mahoni (Mahagony). Pohon Mahoni memiliki jenis kayu yang dapat dimanfaatkan untuk perkayuan (mebel dan kusen). Pohon Mahoni masih bisa ditemui hingga kini tertanam di Jalan Plengkung Lama (Jln. Piere Tendean) dan Jln. Sudirman (Trunan).

Ketika periode pemerintahan berganti, pohon-pohon perindang pun juga mengalami perubahan dan peremajaan.

Pada masa Wali Kota Mochammad Soebroto (1966-1979), dilakukanlah pelebaran jalan, khususnya di Jln. Ahmad Yani.

Pohon-pohon Kenari ditebang habis dan diganti dengan pohon Asam Kranji. Jenis pohon ini memiliki daun kecil-kecil dengan duri di batangnya. Dahulu di sepanjang Jln. Ahmad Yani mulai alun-alun hingga Poncol, jenis pohon ini ditanam dengan rapi.

Pada masa Wali Kota Bagus Panuntun (1979-1989), pohon Angsana menjadi pohon perindang terfavorit menggantikan Asam Kranji. Misalnya, di sepanjang Jln. Diponegoro, Jln. Pahlawan, sebagian Jln. Singosari, sebagian Jln. Tidar, dan Jln. Pemuda Pecinan.

Ketika ruas jalan dilebarkan dan dibuat jalur lambat, Angsana menjadi pohon favorit sebagai pembatas antara jalur lambat dan jalur cepat.

Pohon Kupu-Kupu juga ditanam di sepanjang Jln. Tentara Pelajar dan Jln. Ahmad Yani ruas Plengkung Lama ke utara, dan sebagian Jln. Tidar. Pohon jenis ini memiliki keunikan pada bentuk daun yang menyerupai sayap kupu-kupu.

Pohon perindang tidak sekadar menjadi peneduh bagi para pejalan kaki atau pengguna jalan raya lainnya. Tak juga hanya menjadi penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen.

Ia bisa berubah menyesuaikan dengan perkembangan kota dan pergantian pemimpin pemerintahan.

Bahkan, pohon perindang bisa menjadi identitas kota dan menjadi kisah inovasi-kreativitas perjalanan sejarah kota. (pro/kotamgl)

Penulis : Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang

Related Posts

0 Comments

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *