Pecinan, Wajah Kota Magelang Dalam Rona Keberagaman

4 April 2020

Comments

Kemajemukan terlihat bila kita berkunjung ke Kota Magelang. Kota dengan lanskap utama Gunung Tidar di tengah-tengahnya.

Kota kecil di tengah Pulau Jawa yang mempunyai banyak jejak dalam keberagaman dari berbagai suku bangsa. Kota yang juga tercatat sebagai wilayah kebun penghasil bahan makanan pokok bagi awal-awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam.

Magelang di era pemerintahan kolonial kemudian dikenal sebagai kota garnisun atau kota militer seiring banyaknya jumlah pasukan Belanda mendiami daerah itu. Kemudian berlanjut sebagai kota yang hidup dari derasnya denyut nadi pertanian tembakau, terkenal dengan semboyan sebagai Kota Harapan yang sangat membekas dalam kenangan generasi kelahiran 1970-1990-an.

Sekarang, dengan tajuk sebagai Kota Sejuta Bunga, kota yang berpenduduk kurang dari 200 ribu orang ini memberikan warna-warni kisah yang penuh dinamika dalam perkembangannya.

Perubahan wajah kota akan selalu mengikuti perkembangan kota dari satu era ke era selanjutnya.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan tata kota sesuai kawasan hunian berbasis ras. Hal itu sebagai praktik politik kolonial yang membagi penduduk menjadi tiga ras, yakni golongan warga Eropa, Asia Timur (Arab dan Tionghoa), dan pribumi atau bumiputra.

Dengan kawasan hunian berdasar ras tersebut sangat memudahkan kontrol atas penduduk dan segala permasalahan kependudukan saat itu.

Warga Eropa saat itu bermukim di bagian barat kota yang memang memiliki kontur sesuai dengan kondisi Eropa, agak berada di ketinggian dengan panorama indah Gunung Sumbing, di utara terdapat pusat militer dan rumah sakit militer dengan bangunan-bangunan besar.

Golongan Timur Asing, terutama keturunan Tionghoa, di selatan alun-alun, sedangkan di sisi barat alun-alun golongan Arab bermukim di dekat Masjid Agung Kauman. Alun-alun menjadi titik atau pusat kota dalam pembagian kawasan tersebut.

Kebijakan kawasan huni berdasar ras di Kota Magelang cukup menguntungkan masyarakat keturunan Tionghoa pada era itu.

Lokasi mereka di tengah kota, dekat alun-alun, di jalur utama, dekat pasar dan markas militer. Kawasan huni ini terkenal dengan sebutan Pecinan, tempat warga keturunan Cina, sebelum diganti dengan nama Tionghoa.

Kawasan Pecinan menjadi area utama hunian warga keturunan Tionghoa yang juga pusat perekonomian kota.

Kawasan ini salah satu corak utama Kota Magelang dengan jejak peninggalan yang masih bisa ditelusuri sampai sekarang. Jejak utamanya bisa ditelusuri melalui gang-gang di kawasan Pecinan, baik di sisi kanan maupun kiri sepanjang Jalan Pemuda.

Di sisi timur Pecinan mengalir Kali Manggis sebagai irigasi utama saat itu, sedangkan di sisi barat juga ada pecahan Kali Manggis dengan jembatan air Plengkung yang juga berfungsi sebagai drainase kota.

Di kawasan Pecinan ini masih banyak bangunan yang tetap mempertahankan gaya arsitektur awal 1900-an.

Dari depan mungkin memang tampak modern, mengikuti modernitas sebagai salah satu pusat perdagangan saat ini. Namun, bila kita masuk lebih jauh ke belakang dengan menelusuri gang-gang, masih ada bangunan-bangunan lama dengan plafon tinggi dan jendela besar, serta cungkup atap melengkung, khas rumah warga Tionghoa era lama.

Di kawasan Pecinan, ciri-ciri khas arsitektural sangat terlihat pada elemen-elemen bangunan. Di beberapa bangunan terlihat penunjuk arah mata angin, hiasan-hiasan pada puncak-puncak atap, hiasan pada tubuh bangunan, dan cungkup pelindung atap yang khas.

Farchan Noor Rachman, planolog yang juga penulis cerita perjalanan, dalam blognya menulis bahwa bangunan-bangunan di kawasan Pecinan Kota Magelang mempunyai beragam model atau pola arsitektur yang sangat spesifik, sesuai eranya.

Pola arsitektur bangunan di kawasan Pecinan ini juga tidak terpaku satu model bangunan baku saja. Terlihat, ada beberapa bangunan bermodel “grandeur” atau semodel dengan istana, dengan pilar-pilarnya yang tinggi.

Tetapi juga terlihat model Art Deco yang simpel dan sangat menonjolkan sisi estetik, suatu terobosan arsitektur yang cukup membawa nuansa modern dan bercita rasa seni tinggi di Kota Magelang saat itu.

Secara umum, kawasan hunian itu terbangun semenjak perkembangan kota melaju cukup pesat dengan bangkitnya perekonomian Kota Magelang waktu itu.

Tembakau menjadi komoditi utama yang menghidupi kota. Seiring meningkatnya kemakmuran, banyak hunian dibangun dengan campuran arsitektur Eropa, Jawa, dan Tionghoa.

Pemiliknya pasti orang-orang berekonomi di atas rata-rata. Mungkin waktu itu, para pedagang atau pengusaha cukup sukses dan kaya.

Keberagaman bentuk bangunan juga tecermin pada realitasnya bahwa warga keturunan Tionghoa di Kota Magelang bukanlah kelompok warga yang homogen, melainkan dari berbagai latar belakang.

Bila berdasarkan dialek bahasa dan asal usulnya, ada yang berasal dari Hokkian, Hakka, Tiochiu, dan lain sebagainya. Secara agama, juga ada yang menganut Konghuchu, Buddha, Protestan, Katolik, Islam, bahkan sebagai penganut aliran kepercayaan.

Secara budaya dan gaya hidup ada yang peranakan, ada juga yang totok.

Keberagaman secara budaya juga sangat terlihat saat diadakan perayaan Cap Go Meh di Kelenteng Liong Hok Bio di dekat Alun-Alun Kota Magelang.

Perayaan yang melambangkan hari kelima belas bulan pertama, Imlek, dan hari terakhir rangkaian perayaan Imlek.

Dalam perayaan ini tidak hanya warga Tionghoa yang terlibat. Warga lainnya dari beragam latar belakang juga memeriahkan dalam beberapa kegiatan yang bersifat perayaan, seperti kirab budaya.

Sepertinya, dengan memperhatikan keberagaman tersebut penataan kawasan ditetapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.

Tata kota yang dibangun terlihat mencerminkan kecermatan pengaturan zoning dan penggunaan lahan kota. Zoning atau pengaturan kawasan yang memperhatikan keragaman penduduknya.

Bagian-bagian kota ditetapkan dan dibangun sesuai peruntukan. Kawasan untuk pemukiman, perekonomian, pemerintahan, militer, bahkan untuk pemakaman diatur rapi dan cermat.

Jika diperhatikan lebih detail, dilihat dari sudut mata elang di sisi atas, penataan Kota Magelang waktu itu akan terlihat simetris, dibatasi garis-garis lurus jalan raya dan membentuk blok-blok atau area-area yang rapi.

Dengan pola seperti itu, terlihat bagaimana rapi dan cermatnya pengaturan penataan Kota Magelang pada masa lampau.

Kompleks hunian juga tertata tanpa mengabaikan kebersihan sanitasi dan drainase. Dengan jarak antarrumah yang diatur tidak terlalu berdekatan, asupan sinar Matahari menjadi mudah didapatkan, daun-daun jendela yang dibuat lebar dan banyaknya ventilasi menjamin sirkulasi udara mengalir lancar dan tidak lembap.

Terlihat di antara yang tersisa dari pengaturan model hunian sehat terutama di kawasan sisi timur Pecinan di tepi Kali Manggis, di mana saluran pembuangan langsung mengalir ke kali yang lebar dan berfungsi sebagai irigasi utama pada era kolonial tersebut.

Tentu jangan dibandingkan Kali Manggis dahulu dan zaman sekarang. Kali Manggis saat itu tentu lebih bersih dan tertata dengan air melimpah serta lancar dibandingkan dengan sekarang.

Seorang pengusaha muda yang juga warga Pecinan Kota Magelang, Ronnie S. Haryanto, menyampaikan perkembangan perekonomian saat ini, yang antara lain ditandai dengan transaksi daring dan pemasaran melalui media sosial, berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di kawasan tersebut.

“Sekarang ini, dengan adanya jual beli ‘online’ dan pemasaran melalui media sosial sangat berpengaruh pada ekonomi, termasuk pada perdagangan di kawasan Pecinan. Untuk itu perlu penataan yang lebih menarik, seperti penataan PKL dengan ‘shelter-shelter’ yang unik, bernilai seni dan enak dipandang di titik-titik tertentu yang nyambung dengan jalan-jalan utama,” katanya.

Diharapkan pula, pemerintah daerah mengadakan semacam festival-festival rutin yang bersifat promosi dan memperkenalkan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata belanja dengan tetap mempertahankan suasana kota tua tersebut.

“Tetapi bisa dikemas lebih modern dan edukatif untuk semua usia,” ucap pria yang juga ahli pertembakauan itu.

default

Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina dalam suatu kesempatan menyatakan ke depan pemerintah bisa melakukan penataan kawasan Pecinan dengan memperhatikan keragaman fungsi supaya menjadi lebih baik.

“Untuk kawasan Pecinan ini akan sangat menarik bila ada taman-taman kecil yang indah supaya orang tertarik berkunjung, dengan orang datang tentu bisa lebih ramai dan tentu berefek pada fungsinya sebagai pusat perekonomian di masa yang akan datang,” kata Windarti yang alumnus Universitas Tidar itu.

Bisa jadi, dengan seringnya kita berkunjung dan menelusuri jejak keberagaman di kawasan Pecinan, membuat Kota Magelang salah satu daerah inklusif, wilayah terbuka dan nyaman dengan semua perbedaan, serta bersinergi untuk mewujudkan kemajuan kota.

Hal demikian, tecermin dalam filosofi hubungan antara alun-alun yang menjadi pusat Kota Magelang dengan kawasannya.

Penghargaan terhadap keberagaman menjadi salah satu kekuatan perkembangan kota, sebagaimana bisa terlihat di kawasan Pecinan Kota Magelang.

Kawasan Pecinan dengan rona muka cantik menawan, dan ramah, dengan penghuni yang penuh senyuman akan menebarkan harum, sebagaimana bebungaan bermekaran, tanda harapan dan optimisme warga terhadap kemajuan Kota Magelang pada masa mendatang.

Pecinan Kota Magelang, kawasan yang membuat kita selalu rindu mengunjungi.(pro/kotamgl)

Penulis : Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang

Related Posts

0 Comments

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *