Gus Muwafiq : Kota Magelang Jangan Sampai Jatuh Ke Tangan Pemimpin yang Tak Kenal Wali

23 Oktober 2020

Comments

MAGELANG – Kota Magelang harus dipimpin oleh orang yang paham tentang Wali, karena di sini ada makam Wali Syeh Subakir yang merupakan cikal bakal penyebaran Islam dan pembangunan peradaban besar Nusantara.

Hal ini disampaikan Ulama Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Muwafiq biasa disapa Gus Muwafiq dalam acara Haul Syeh Subakir dan Peringatan Hari Santri Nasional, di Pendopo Pengabdian komplek rumah dinas Wali Kota Magelang, Kamis (22/10/2020) malam.

Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito sebagai sohibul bait (tuan rumah) dalam acara itu, dihadiri forum pimpinan daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta masyarakat yang menyaksikan secara virtual.

Wali Kota Magelang saat memberikan sambutan

Menurut Gus Muwafiq, sejarah dan peradaban Islam Nusantara itu dimulai dari bukit kecil yang bernama Gunung Tidar. Dahulu ketika peradaban Hindu-Budha, di tanah Jawa terkenal angkernya diceritakan dalam Kitab Tafsir Al Munir Syeh Nawawi, bahwa jin dan setan yang ditanam di perut bumi itu seperti gupolo. Oleh orang Jawa kemudian ditarik keluar membantu manusia.

Dikatakannya, tugas Wali Syeh Subakir adalah membuat tumbal di gunung kecil namanya Gunung Tidar untuk menjaga stabilitas makhluk di luar manusia. Baru kemudian muncul wali-wali yang melakukan dakwah Islam di bumi Nusantara.

“Setelah perdemitan beres, baru dilakukan pekerjaan-pekerjaan dakwah karena tidak ada lagi yang mengganggu,” kata Gus Muwafiq.

Menurutnya, kemudian lahirlah Syeh Jamaludin Al Husaeni Al Kabir (Syeh Jumadil Kubro) di Turgo Lereng Gunung Merapi, melakukan pemetaan dan pemantauan. Punya anak yang namanya Syeh Ibrahim pindah di Tuban dan punya anak Raden Rohmad Sunan Ampel. Anak lainnya Syeh Jumadil Kubro, Syeh Ishak yang kemudian punya anak Sunan Giri. Baru kemudian Sunan Ngampel punya keturunan hingga Sunan Kalijaga.

Desain besar peradaban Islam, lanjut dia, bermula dari Wali yang berada di gundukan kecil Gunung Tidar di Kota Magelang. Kemudian mampu menjadi “air bah”, mengubah dinamika baru, peradaban baru, perubahan sistemik diseluruh wilayah nusantara, sehingga Islam bisa berdampingan dengan siapa saja hidup damai tanpa pertumpahan darah. Bertahun-tahun dia ceritakan banyak orang dan ada yang percaya dan ada yang tidak.

“Pemimpin yang terpapar yang begitu-begituan dan menganggap wali tidak ada, jangan harap bangsa ini bangkit dan besar. Karena tidak bersyukur pada Wali dan pendahulu. Magelang harus jaga betul, cari pemimpin yang mengerti wali ini,” katanya.

Gus Muwafiq mengingatkan bahwa Peradaban Nusantara itu bermula dari Kota Magelang, dahulu Bung Karno menghargai wali dengan menempatkan TNI di Gunung Tidar yang sekarang adalah Akademi Militer. Karena paham betul bahwa wali adalah orang yang pertama kali membangun wilayah.

Gus Muwafiq saat menerima cinderamata dari Wali Kota Magelang

Dia memberikan gambaran, para Wali mempertemukan budaya dari Arab dengan Budaya Nusantara, makanya di tanam dengan pola yang sesuai dengan bumi nusantara. Wali itu konsep Al-Quran bahasa sini disebut sunan. Al ulama waratsatul anbiya (Ulama pelita bagi bumi) kemudian di sini disebut Kyai.

“Jadi kyai di sini adalah dorongan teologi Islam dan dorongan budaya Nusantara dan membentuk sebuah peradaban. Kyai tidak semata-mata ustadz dan mengajar saja, tapi representasi kyai adalah pertemuan peradaban,”katanya.

Kemudian, menurutnya, santri adalah mereka yang patron pada kyai, disebut santri karena dorongan teologis dan situasi sosial sehingga tidak semua santri itu alim (berilmu). Semua orang yang mengikuti kyai baik itu orang baik atau masih buruk semua dianggap santri. Ini memperluas jatah tilmidun (murid) para kyai sebagai poros peradaban.

Dia mencohtohkan, ketika Hadratus Syeh Hasym As’ari pada 22 Oktober mencetuskan resolusi jihad perang melawan penjajah adalah wajib hukumnya, maka yang tunduk pada fatwa itu bukan hanya santri saja tapi masyarakat yang patuh terhadap kyai ikut perang dan dia disebut santri. Sehingga meletuslah pertempuran 10 November di Surabaya.

“Tanpa resolusi jihad pertempuran 10 November itu tidak ada, aksi heroik mereka terbakar dari adanya resolusi jihad 22 Oktober yang kemudian sekarang dijadikan Hari Santri,” ujarnya.

Seluruh rangkaian peradaban dan sejarah itu, menurutnya tidak akan terjadi tanpa desain besar dari para wali. Kalimat ”La ilaha illallah” ditanamkan oleh wali sebagai desain besar sistem peradaban, tidak seperti sekarang dikibarkan di bawa ke mana-mana.

“Kalau dikibarkan malah hilang karena ditembak polisi. Berangkat dari bukit kecil dari Kota Magelang beradaban Nusantara itu ada hingga sekarang. Maka dari itu jangan sembrono memilih Wali Kota Magelang, jangan sampai Kota Magelang jatuh ke tangan orang yang tak kenal konsep wali,”pesannya. (prokompim/kotamgl)

Related Posts

0 Comments

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *