“Amung Godhong”, Usung Ecoprint yang Ramah Lingkungan

28 Mei 2021

Comments

KOTA MAGELANG – Mendengar kata eco sudah pasti mengarah pada produk atau aktivitas ramah lingkungan. Tak hanya dalam dunia otomotif, eco juga bisa melekat pada kain dengan istilah ecoprint. Kain pun identik dengan fashion seperti busana, hijab, tas, dan lainnya.

Amung Godhong salah satu brand lokal asal Kota Magelang, mengaplikasikan teknik ecoprint pada kain yang menggunakan bahan alami baik untuk pola maupun pewarnaannya. Produknya tak hanya ramah lingkungan, tapi juga unik, menarik, dan bernilai seni.

Retno Setyaningsih ada di balik suksesnya Amung Godhong dalam meramaikan gairah UMKM di Kota Sejuta Bunga. Sejak tahun 2017 hingga saat ini terus mengembangkan teknik ecoprint ini di produk fashionnya dengan beragam jenis daun dan bunga.

“Ecoprint bukanlah batik. Ecoprint menggunakan teknik transfer warna dan motif dari daun serta pewarna alam. Medianya serat alam, seperti kain, kulit, kayu, keramik, kertas, dan lainnya,” jelas Retno di rumah produksinya Jl Sunan Bonang Perum Girimulyo, Jumat (28/5/2021)

Dia menuturkan, ecoprint menjadi unik karena tidak bisa diulang dan tidak ada yang sama karena pola desain yang digunakan tidak sama. Juga bahan pewarna yang digunakan pada tempat dan waktu yang berbeda akan menghasilkan warna berbeda.

“Sudah pasti ecoprint menjadi produk yang ramah lingkungan,” katanya.

Retno menjelaskan, proses pembuatan produknya memang agak ribet. Pertama yang perlu disiapkan adalah kain putih dengan jenis beragam, seperti katun, sutra, rayon, tenun, dan lainnya. Kain putih sebagai kain utama ini dicelup warna terlebih dahulu.

Namun sebelumnya, supaya kain utama siap diberi warna, maka perlu dicuci terlebih dahulu dengan bahan tertentu. Lalu dimordan dengan cairan atau ramuan tertentu selama beberapa hari agar lebih awet. Kain ini kemudian ditempel daun sesuai selera, feeling, atau pesanan konsumen.

“Di atasnya ditempel kain putih sebagai selimut (blanket) dan digulung dengan kuat serta ditali dan dikukus minimal selama dua jam. Berikutnya fiksasi dengan proses penguncian warna. Sebagai catatan, kain utama kualitasnya harus lebih bagus dari kain blangket,” jelasnya.

Retno mengaku, sebelum mendalami ecoprint ia terlebih dahulu bergelut dengan sibori (teknik ikat dan celup). Sekitar tahun 2016 ia belajar sibori dengan pewarna kimia. Setahun kemudian mengenal ecoprint dan akhirnya mulai fokus ke ecoprint dengan pemasaran sudah hampir di seluruh Indonesia.

“Sibori masih dan menggunakan pewarna alam, tapi tidak sebanyak ecoprint. Potensi ecoprint masih sangat besar, terutama di Kota Magelang yang pemainnya masih sangat terbatas. Meski begitu, saya juga masih edukasi pasar, terutama karena harganya tak murah,” paparnya.

Sejauh ini Retno sudah memproduksi ecoprint ratusan lembar kain dengan menggunakan ratusan jenis daun. Di antara yang sering digarapnya berupa daun jati, lanang, jarak wulung, jambu biji, kelengkeng, jarak kepyar, kersen, mangga, pakis, dan lainnya.

“Daun memang banyak dan tersedia di alam, tapi saya selektif juga. Terutama mencari daun yang tidak banyak getahnya. Kalau daun yang banyak getahnya perlu ada perlakuan khusus agar hasilnya maksimal,” imbuhnya yang menyebut proses pembuatan satu kain bisa selama dua minggu. (pemkotmgl)

Related Posts

0 Comments

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *