Oleh : Nayla Hidayah (Radar Jogja)
KOTA MAGELANG – Pandemi nyatanya menjadi tamparan keras bagi seluruh sektor. Tak terkecuali perekonomian. Banyak para pelaku usaha perlahan tiarap akibat kesusahan mempertahankan eksistensinya. Mereka dipaksa menyerah dengan kondisi yang ada.
Kendati demikian, banyak juga yang tetap bertahan meski harus berjuang mati-matian. Bahkan, ada yang memanfaatkan pandemi untuk meraup keuntungan. Hal itu tentu menjadi bukti bahwa pandemi tidak benar-benar meluluhlantakkan semua lini.
Seperti halnya dengan Erga Anggoro, Founder & CEO Jerawood Craft. Rumah produksinya berada di Puri Jeruk Sanden, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Ia menjadi satu bukti bahwa usaha di tengah pandemi, bukan menjadi suatu tantangan yang besar. Justru, ia bisa meraup untung dengan kondisi itu.
Awalnya, Erga, sapaan akrabnya, mengaku prihatin dengan adanya limbah kayu pabrik yang terbuang begitu saja. Terkadang hanya berakhir di tempat pembakaran. Lebih-lebih bisa dijual lagi untuk bahan bakar.
Ia yang saat itu tengah mencari kesibukan, akhirnya terlintas untuk membuat suatu kerajinan dari limbah kayu tersebut. Menurutnya, limbah itu bisa dimanfaatkan menjadi barang dengan nilai jual tinggi. Erga lantas mendirikan workshop kerajinan di rumahnya.
Tahun 2019, ia mulai melakukan riset dengan bahan baku yang ada. Sementara konsep yang diusung, produk berukuran kecil dari limbah kayu. “Lalu, Februari 2020 launching speaker bluetooth kecil dan ternyata diminati Pak Ganjar. Tapi, Maret terjadi pandemi. Dengan kondisi itu, 3 bulan kami stop produksi,” ujarnya saat ditemui, Kamis (24/11).
Lantaran bosan, ia kembali mengaktifkan workshop-nya. Bahkan, mendapat uluran tangan dari pemerintah daerah. Dari situlah, ia perlahan beranjak naik. Kembali bersemangat setelah 3 bulan beristirahat.
Dia sempat berkecil hati. Dia merasa, kondisi pandemi tidak memungkinkan orang untuk membeli produk dengan harga Rp 400 ribu. Terlebih, speaker bluetooth bukan merupakan bahan pokok. Setelah usahanya berjalan dan dibantu promosi oleh Ganjar Pranowo, justru menjadi berkah tersendiri.
Menurutnya, pandemi yang menyuruh orang berdiam diri di rumah, membuat mereka merasa jenuh jika tidak memiliki hiburan tertentu. Speaker-nya perlahan mulai diburu banyak orang. Ia pun tidak menyangka jika speaker buatannya laku.
Produksi speaker saat itu memang belum maksimal. Namun, ia bersyukur ada orang yang berminat membelinya. “Bagi kami, sudah Alhamdulillah ada yang berminat beli, sudah belasan. Kami sendiri kaget, ternyata animo mereka bagus,” bebernya.
Erga menyebut, perbedaan workshop-nya dengan yang lain, yakni terletak pada proses produksinya. “Kami mendesain produk setelah ada bahan bakunya karena menyesuaikan limbah. Kalau yang lain, bikin produk berdasarkan desain yang ada,” sambungnya.
Untuk jenis limbah kayu yang digunakan, bermacam-macam. Mulai dari kayu palet, sonokeling, eboni, maple, hingga jati. Dia menyebut, kayu sonokeling pada dasarnya memang mahal dan penjualannya dibatasi, meskipun limbah. Sehingga dia juga mendapatkan limbah kayu itu dengan harga yang mahal.
Lama menggeluti produksi speaker, ia mulai tertarik untuk membuat jam tangan. Dengan pengetahuan IT yang dimilikinya, Erga kembali memutar otak. Alat apa yang bisa membuat produk jam tangan dan tidak banyak yang memakainya.
Kemudian, terpikirlah untuk menggunakan mesin Computer Numerically Controlled (CNC). Alat itu merupakan mesin perkakas yang dilengkapi dengan sistem mekanik dan kontrol berbasis komputer yang mampu membaca instruksi kode N, G, F, T, dan lain-lain.
Menurutnya, ukiran-ukiran yang ada pada asbak, cangkir, atau lainnya memang bisa dibuat manual dengan tangan. Tapi, ketika memakai komputer, praktis mesin akan bekerja sesuai dengan program yang sudah diatur. Terlebih, akan lebih efisien karena bisa melakukan pekerjaan lain dalam satu waktu.
Erga yang notabene menyukai jam tangan, akhirnya berkeinginan untuk membuat tiruannya dengan limbah kayu. Dengan memanfaatkan mesin CNC. Mengingat bahan baku jam tangan juga kecil. “Saya suka jam tangan. Tapi, harga jam yang saya minati, mahal dan belum mampu beli. Akhirnya bikin tiruannya dari kayu,” kelakarnya.
Setelah jadi, ia berpikir untuk menjualnya. Terlebih, market sell jam tangan dengan bahan baku kayu, belum terlalu banyak. Kemudian, Erga mulai menjualnya lewat marketplace dan media sosial. Tapi, lebih dimaksimalkan melalui Instagram.
Selain itu, ia juga melakukan penjualan secara langsung. Pembeli bisa memilih sendiri desain yang disukai. Tapi, kebanyakan memang membelinya secara online. Mengingat pangsa pasar di Magelang belum terlalu bagus dengan harga yang ditawarkan.
Dia menambahkan, penjualan produknya belum merambah pada pasar internasional. Hanya saja, ia pernah dibantu oleh pemerintah provinsi untuk mengirimkan sampel di Bulgaria dan Jepang. Namun, pemasarannya sudah meluas di berbagai daerah di Indonesia. Seperti Ambon, Mataram, Lombok, Makassar.
Selain itu, ia juga pernah mengikuti pameran kerajinan di Medan dan Makassar. “Di Medan, tidak bawa banyak, hanya belasan, tapi habis. Kalau di Makassar banyak yang kecele. Kami bawa jam tangan 8 dan kacamata 12. Ada beberapa orang yang menanyakan,” akunya.
Pada gelaran Borobudur Marathon 2022 lalu, ia menjadi pelaku usaha yang beruntung bisa mengikuti pameran selama tiga hari. Dengan proses kurasi, ia berhasil lolos untuk memamerkan produknya kepada para pelari nasional.
Untuk menjual suatu produk, kata dia, memang harus disesuaikan dengan pasarannya. Menurutnya, Borobudur Marathon 2022 menjadi momentum yang baik bagi dia. Selama tiga hari pameran, ia bisa meraup omzet hingga lebih dari Rp 5 juta.
Selama ini, ia kerap mengikuti berbagai pelatihan, juga pameran dan pembinaan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Magelang. Dia merasa, pembinaan itu bermanfaat bagi para pelaku UMKM.
Saat ditanya soal omzet perbulan, dia enggan menyebutnya. Karena menurutnya, omzet itu fluktuatif. Yang terpenting, nilainya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Setiap harinya, dia dibantu dengan 3 orang dan 2 lainnya seorang freelancer. Hanya akan bekerja ketika pesanan membludak. Tapi, karena ia ingin merenovasi workshop-nya, semua karyawan diistirahatkan. Meski begitu, masih ada produk yang tersisa dan bisa dijual.
Untuk proses produksi, satu minggu biasanya menghasilkan 20 hingga 30 buah jam tangan. Dia menyebut, pembeli tidak bisa custom bentuk jamnya. Tapi, mereka bisa menambahkan nama dan logo yang diinginkan. “Bahkan, ada kolektor dari Jakarta yang senang membeli jam etnik dan sudah punya 6 model,” sebutnya.
Erga menuturkan, mesin jam tangan yang diproduksi berasal dari Jepang. Ketika pembeli terkendala soal mesin jam tersebut, ia memberikan masa garansi selama 1 tahun. Menurutnya, hal itu wajar karena buatan manusia dan pasti ada cacatnya. Ia pun kerap berbelanja 100 mesin, tapi yang bisa dipakai hanya 90-an buah.
Desain jam tangan miliknya berbeda dengan yang lain. Ia terinspirasi dari Kota Magelang. Erga ingin merepresentasikan kekayaan budaya yang ada di wilayah tersebut, seperti Mantyasih. Ia juga bekerja sama dengan gerai batik di Lasem dan dijadikan sebagai motif pada jamnya. “Harapannya bisa menjadi bentuk sarana promosi budaya,” ujarnya.
Saat ini, dia memproduksi tiga jenis kerajinan. Seperti aksesoris fesyen, homeware, dan elektronik. Dengan berbagai macam harga. Jam tangan yang diproduksi, ada 6 model dengan kisaran harga Rp 250 ribu – Rp 1 juta. Tergantung model dan motif. Sementara kacamata memiliki lebih dari 6 model dengan dibanderol mulai Rp 150 ribu.
Dia menuturkan, produk miliknya juga diminati oleh para pejabat penting. Seperti Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, hingga Wali Kota Magelang dan istri. “Kalau pak Sandiaga, pernah kami tantang untuk merakit jam tangan sampai jadi dan akhirnya dibawa pulang. Dulu beli 2 buah jam, terus akhirnya pesan lagi 8 buah,” jelasnya.
Erga tak lantas puas dengan pencapaian yang diraih. Ia haus untuk terus mengembangkan produknya. Lebih-lebih bisa menjajaki pasar Eropa. Dengan begitu, produknya akan meluas dan diminati banyak orang.
0 Komentar